Senin, 08 Februari 2016

Review Novel: THE INFINITE SEA by Rick Yancey. The Second Book of The 5th Wave






P.S: Kali ini lagi kepengen nulis pakai "gue", so maklumi

Baru beberapa hari yang lalu gue selesai baca buku The Infinite Sea, dan gue baca dengan kecepatan cahaya *wew* gara-gara baru aja nonton The 5th Wave di bioskop beberapa minggu yang lalu dan gue suka sama filmnya. Great adaptation! Btw nggak bisa berhenti mikirin Evan Walker a.k.a Alex Roe *_*. Filmnya juga nggak terlalu melenceng banget sama novelnya dan gue bakalan nulis review filmnya segera. Tapi kali ini gue bakalan bahas buku keduanya, The Infinite Sea.
First, here the synopsis...

Bagaimana cara melenyapkan miliaran manusia penghuni Bumi? Lenyapkan sisi kemanusiaan mereka.
Nyaris mustahil rasanya selamat dari empat Gelombang pertama. Tetapi Cassie Sullivan berhasil, dan sekarang ia hidup di dunia baru, dunia tanpa rasa percaya pada sesama. Saat Gelombang 5 menyapu segalanya, Cassie, Ben, dan Ringer dipaksa berhadapan dengan tujuan utama para Makhluk Lain: pemusnahan umat manusia.
Maka mereka pun terlibat dalam pertempuran terdahsyat: antara hidup dan mati, cinta dan benci, harapan dan kenyataan.

Pertamanya gue semangat banget baca buku ini. Sampai-sampai berkorban nggak belajar padahal besoknya gue harus ujian Try Out *jangan ditiru*. Apalagi gue nggak sabar banget ngerasain fangirling (lagi) sama sosok Evan Walker.
Tapi sekarang gue berada di antara perasaan kecewa dan marah. Entah karena gue berekspektasi terlalu tinggi sama novel ini atau apa. But, this book is really dissapointed for me. Padahal gue sangat berharap bakalan nemu euforia yang sama seperti waktu baca buku pertamanya.
Oke, supaya nggak jahat-jahat banget, mari kita bahas sisi positif buku ini dulu.
Seperti biasa, gue suka sama cara penulisan Rick Yancey. Enak dibacanya, meski kali ini lebih banyak istilah-istilah yang agak sulit buat dipahami. 
Surprisingly, gue suka sama Rick Yancey yang kali ini mengupas lebih dalam karakter-karakternya, kayak Poundcake yang udah punya bab sendiri, atau Ringer yang nggak tanggung-tanggung dikasih POV sebagai 'Aku' a.k.a pelaku utama.
Gue suka sama ide permainan POV ini. Good job, Mr. Yancey!
Gue juga suka sama covernya. Warna birunya keren banget, meski gue agak terganggu sama model ceweknya. Berharapnya dia nggak nengok ke belakang, sih.

Oke, sekarang kita ke bad thingsnya yang dengan sangat berat hati harus gue tulis. Dan gue bingung harus komplain di bagian mana dulu. Hmmm.

Pertama, soal ide cerita.
Gue nggak ngerti sama apa yang terjadi di buku ini. Entah kenapa gue merasa ini lebih parah dari pada kesalahan yang dilakukan Veronica Roth di Allegiant. *sorry Mr. Yancey
But, let's be honest...
Apakah Mr. Yancey lagi terjebak dalam imajinasinya sendiri? gue nggak ngerti.
Bermula dari survive habis kabur dari ledakan Kamp Haven, lalu entah supaya jadi asyik, dikirim lah tokoh antagonis bernama Grace, manusia yang 'terinfestasi' macam Evan, yang menurut gue hanya menambah ketegangan sesaat dan nambah-nambahi scene action-nya doang.

Berikutnya, bagian awal buku terfokus sama penantian Cassie, Ringer, Ben, dkk di Hotel 'Walker' buat nunggu kembalinya Evan. Tapi coba bayangin deh perasaan gue yang juga jadinya harus ikutan nunggu juga. What!? i want an adventure and action! Bukan mangut-mangut nunggu depan jendela sambil ngeliatin salju turun perlahan-lahan dan menyiksa gue dengan waktu yang berjalan lambat. Waktu mereka cuman diisi sama pertengkaran-pertengkaran dan Ben yang udah gaje suka marah-marah nggak jelas. Meskipun pada akhirnya penantian gue akhirnya terbayar dengan scene action yang menyelamatkan gue dari 'menunggu' Evan Walker. Tapi, menurut gue bagian actionnya juga kurang. Bukannya gue jahat banget jadi reviewer tapi sekali lagi, let's be honest.
Menurut gue, seharusnya Rick Yancey bisa bikin ide cerita yang lebih 'menantang' dari ini. Gue suka banget sama The 5th Wave dan bakaln jadi my favorite book for ever. Tapi di The Infinite Sea, Rick Yancey seakan-akan nggak tau lagi mau ngapain sama Skuad 53 dan Cassie dan Evan ini. Apakah Rick Yancey enggan membuat mereka menjadi hero yang akan menyelamatkan Bumi dari The Others? Lalu inti cerita Trilogy ini apaan dong? Mungkin gue harus segera baca The Last Star supaya bisa berhenti complain and confuse.
Yang kedua, kita bahas soal karakternya.
Entah menurut gue aja atau apa, tapi Cassie seakan-akan kehilangan pamornya sebagai tokoh utama di sini. 
Karakter Sam berubah drastis. Gue bisa ngerasain gimana sedihnya Cassie ngelihat adiknya Sam yang polos dan ngegemesin berubah 180 derajat jadi kasar dan berani megang senjata. Oh no, my Sammy.
Gue jadi nggak suka sama Ben, yang entah kenapa berubah jadi agak stress-an. Nggak setenang dan sebijak dulu.
Tapi gue suka sama Dumbo dan Poundcake. Mereka setia banget sama Sersan mereka, Si Ben. Unik juga kisahnya Poundcake. Sedih sekaligus tragis. 
Gue juga suka sama karakter Vosch yang lebih banyak disorot. Sumpah bikin kesel, dingin, licik, dan super nyebelin! Pelit ngomong juga, urgh.
And terakhir, ngebahas POVnya Ringer.
Diceritain kalau Ringer itu ketangkep sama Vosch dan mau dijadiin bahan percobaan, terus Ringer ketemu sama cowok bernama Razor dan menjalani hari-hari 'kelinci percobaan' ditemani Razor karena ia yang merawat Ringer selama jadi percobaannya Vosch, dan akhirnya ada benih-benih cinta di antara Ringer dan Razor.
Jujur. Gue bosan setengah mati sama POVnya Ringer. Panjang, lama, nggak jelas, dan banyak percakapan yang susah untuk dimengerti meski karakter Ringer ini emang badass.
Apalagi pas scene kebersamaan Ringer dan Razor. Please, gue nggak peduli sama kisah cinta kalian berdua. Bumi sedang di ambang kehancuran, guys. Wake up!
Dengan segala kekecewaan yang gue rasakan, sayang banget gue cuman bisa ngasih 2.5 dari 5 bintang, atau mungkin 3. Sumpah gue nggak jahat kok, cuman terlampau kecewa *eaa. I'm so sorry, Rick Yancey. But you made me frustated with this book. You really did. 
Tapi gue tetap berniat buat beli The Last Star kalau Gramedia Pustaka udah nerbitin versi terjemahannya.

 

REVIEW NOVEL Let It Snow 'Dalam Derai Salju' karya John Green Maureen Johnson Lauren Myracle.


Judul                : Let It Snow 'Dalam Derai Salju'
Penulis             : John Green, Maureen Johnson, Lauren Myracle
Penerbit           : PT Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman: 312 halaman
Genre              : Young Adult, Romance.
Rating              : 4/5 bintang.



   Ketika saya membeli buku ini, saya berpikir mungkin saya akan disuguhi cerita cinta anak sekolahan dengan karakter-karakter anak-anak nerd versus anak-anak orang kaya. Tapi ternyata saya salah. Maklum saya tidak membaca sinopsis di bagian belakang buku ketika pertama kali membelinya. Saya tertarik membawa pulang buku ini karena menyangkut nama penulis favorit saya, John Green. Jauh dari perkiraan saya, ternyata buku ini mengangkat situasi yang tidak biasa -terjebak di badai salju- menjadi ladang kisah cinta remaja yang romantis.
   Buku ini dibuka dengan cerita yang ditulis oleh Maureen Johnson yang berjudul "The Jubilee Express", menceritakan tentang malam natal Jubilee yang berubah kacau karena orang tuanya yang dijebloskan ke penjara karena terlibat kericuhan Flobie Santa Village. Tidak ada malam Natal bersama pacar sempurnanya, Noah. Tidak ada acara buka kado Natal di pagi hari bersama keluarga. Jubilee malah harus menghabiskan malam Natalnya dengan perjalanan menuju rumah nenek dan kakeknya di Florida. Parahnya lagi kereta yang ia tumpangi mendadak harus berhenti di kota kecil bernama Gracetown karena menabrak gunungan salju. Cerita Jubille pun dimulai ketika ia singgah di Waffle House untuk menghindari para cheerleader yang ributnya minta ampun dan bertemu dengan seorang cowok asing yang menyelamatkan malam Natalnya yang kacau.
   Secara keseluruhan saya sangat menikmati cerita karangan Maureen Johnson ini. Bahkan di antara 3 cerita yang ada, "The Jubilee Express" adalah favorit saya. Gaya penulisan yang disuguhkan benar-benar nyaman untuk dibaca. Karakter Jubilee juga sangat menyenangkan untuk diikuti. Bukan tipe cewek yang lemah dan pasrahan.
   Cerita perjalanan Jubilee yang berakhir begitu romantis sempat membuat saya berpikir kalau saya bakalan nemu pasangan hidup saya nanti di tengah-tengah kereta mogok atau pesawat yang delay. Haha, btw hanya bercanda. Pokoknya ketika selesai membaca akhir cerita karya Maureen Johnson in, saya langsung senyum-senyum sendiri sambil bilang "Aaaaa... So Sweet!"

    Beralih ke cerita berikutnya yang berjudul "A Cheertastic Christmas Miracle" karya John Green. Dan, siapa sih yang nggak kenal John Green? Kalaupun Anda nggak pernah baca bukunya, tapi kemungkinan besar Anda tahu film The Fault in Our Stars yang merupakan adaptasi dari salah satu novel karyanya yang berjudul sama. John Green adalah penulis yang berhadil membuat saya jatuh cinta dengan cerita cinta kontemporer remaja.
    Tapi sayang sekali entah kenapa saya tidak merasakan kekuatan penceritaan yang biasanya John Green miliki di Cheertastic Christmas Miracle ini. Cerita terfokus pada perjalanan JP, Tobin, dan The Duke mengejar para cheerleader di Waffle House yang berujung pada pertemuan Tobin dengan cheerleader sejatinya. Saya pikir akan ada banyka intrik dan benturan pemikiran para karakter yang asyik buat diikuti seperti halnya dalam novel Looking for Alaska. Tapi sayang sekali mungkin Mr. Green lagi kepengen nulis dengan gaya penulisan yang sama dengan An Abundance of Kathrine yang -menurut saya- nggak se-wow TFIOS atau Looking for Alaska.
    Meski begitu, cerita pendek dari John Green ini tetap asyik untuk diikuti.
    
    Berikutnya adalah cerita pendek berjudul "The Patron Saint of Pigs" karya Lauren Myracle. Yang menarik di tulisan Lauren Myracle ini adalah keahliannya menyatukan seluruh karakter yang sudah disebutkan dalam cerita-cerita sebelumnya ke bagian akhir cerita dan eksekusinya pas banget, ringan dan nggak maksa. Menyenangkan sekali semua karakter kembali bersama-sama untuk menutup lembar terakhir buku Let It Snow ini. 
    The Patron Saint of Pigs menceritakan tentang Addie -Adeline- yang gagal move on setelah putus dari Jeb dan harus melewati hari Natal penuh dengan depresi. Ia bahkan memangkas rambut indahnya dan mengecatnya menjadi pink! 
     Sayang sekali sebenarnya saya berharap porsi Jeb juga seimbang dengan Addie sehingga saya bisa merasakan hubungan kuat di antara keduanya, tidak hanya pada sisi Addie saja.
      Intrik persahabatan, perselingkuhan, dan keegoisan ala remaja yang disuguhkan Lauren Myracle berhasil menambah daya tarik cerita. Dan meskipun karakter Addie sedikit menyebalkan bagi saya -karena karakter Addie yang senang bergalau ria- tapi terasa berwarna dan juga usaha konyol Addie ketika menolong Tegan yang cinta mati dengan semua hal tentang babi cangkir.


"Sejak dulu aku punya pendapat bahwa kau tak boleh mengorbankan cerita tengah yang bahagia dengan harapan mendapatkan akhir yang bahagia, karena aku takpercaya ada akhir yang bahagia"
Let It Snow 'Dalam Derai Salju' -halaman 188

      Jika saya memberi rating untuk setiap cerita, maka..... *suara drum*
"The Jubilee Express" : 4.5 bintang 
"A Chreertastic Christmas Miracle" : 3.5 bintang
" A Patron Saint of Pigs" : 4

Kalau dirata-ratakan untuk keseluruhan buku saya beri 4 dari 5 bintang. Nilai yang pantas untuk keseluruhan cerita karena gaya penceritaan yang menarik dengan frasa-frasa yang unik. Bacaan yang pas untuk kalian yang ingin mencari bacaan untuk bersantai sambil minum secangkir teh panas dan kue di sore hari. Apalagi ketika cuaca dingin karena setting novel yang penuh salju. Pas banget! <3


John Green

Maureen Johnson

Lauren Myracle



Sabtu, 09 Januari 2016

Review Novel: THE GIRL ON THE TRAIN. Kau tidak mengenalnya, tapi dia tahu siapa dirimu.

  





   Baru tadi malam saya selesai baca novel thriller berjudul The Girl on The Train karya Paula Hawkins. Emang rada telat, sih. Karena saya punya banyak buku yang belum kebaca dan agak bingung nentuin yang mana yang duluan buat dibaca. Dan akhirnya kesampaian juga baca The Girl on The Train.
   
    Btw, banyak yang bilang kalau buku yang satu ini merupakan 'the next Gone Girl'. Sayangnya, saya nggak pernah baca Gone Girl karya Gillian Flynn tersebut dan cuman pernah nonton filmnya, jadi saya nggak bisa ngebandingan sama The Girl on The Train. Dan ini bukan pertama kalinya saya baca buku bergenre thriller dengan karakter-karakter yang punya masalah kejiwaan. But, The Girl on The Train benar-benar membuat saya terpukau dan berhasil mendapatkan tempat di hati saya. Kenapa?

Mari kita baca sinopsisnya dulu.

   The Girl on The Train menceritakan Rachel a.k.a narator utama yang setiap hari naik kereta komuter ke London tanpa tujuan yang jelas, hanya untuk berpura-pura berangkat kerja seperti biasa meskipun kenyataannya dia sudah dipecat berbulan-bulan sebelumnya. 
   Saat kereta berhenti di perlintasan, Rachel selalu memperhatikan rumah bernomor lima belas melalui jendela kereta. Ia tidak mengenal suami istri pemilik rumah tsb namun ia sering mengkhayalkan hubungan suami istri yang sempurna dengan kehidupan bahagia di rumah tsb. Pasangan itu kemudian ia berinama Jess dan Jason. Jess dan Jason mengingatkan Rachel akan rumah tangganya dulu bersama mantan suaminya, Tom, sebelum akhirnya bercerai. Rachel mengamati mereka selama satu tahun dan menjadi terkitan dengan mereka. Oleh karena itu, ketika suatu hari ia melihat Jess (yang aslinya bernama Megan) berselingkuh dari suaminya, Rachel menjadi sangat marah dan kecewa. Keseokan harinya, Jess a.k.a Megan menghilang.
    Rachel yang merasa terikat dengan hubungan Jess dan Jason yang di kehidupan nyata bernama Megan dan Scott akhirnya mati-matian berusaha mencari tahu apa yang terjadi pada Megan. Dan pada hari hilangnya Megan, Rachel pergi ke Witney (tempat tinggal Megan dan Scott serta mantan suaminya, Tom, dan istri barunya, Anna). Tapi karena mabuk berat, ia tidak dapat mengingat apa yang terjadi malam itu. Padahal ingatannya tentang malam saat ia berada di Witney, di malam ketika Megan menghilang, adalah kuci dari semua permasalahan yang terjadi. 
   Lalu sebenarnya apa yang terjadi dengan Megan? Kemanakah Megan menghilang? Siapakah penjahat yang sebenarnya? Atau jangan-jangan Rachel lah yang tidak sadar telah membunuh Megan?
   
    Paula Hawkins benar-benar membuat saya terpukau dengan karyanya yang satu ini. Gaya penceritaan yang sepotong-sepotong dari tiga sudut pandang yang berbeda (Rachel, Anna, dan Megan) membuat saya begitu excited dan luar biasa penasaran sepanjang membaca buku ini. Saya terus bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang terjadi. Sampai akhirnya saya menemukan bahwa dugaan saya benar mengenai siapa pelaku sebenarnya.
    Saya sangat menyukai gaya penceritaan dari sudut pandang Rachel. Rachel yang pemabuk berat membuatnya tidak dapat mengingat beberapa kejadian yang telah berlalu, tidak bisa membedakan mana yang nyata dan tidak nyata, apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan, dan itu semua membuat saya geregetan dengan si Rachel.
Rachel Watson
    Potongan-potongan kejadian yang tidak dapat diingat Rachel -padahal itu penting banget- membuat saya terus-terusan berkata "berhenti minum, Rachel! Please deh!". Benar-benar memancing emosi.
   Saya juga dibuat kesel sama si Megan yang kok tega banget berselingkuh padahal ia punya suami yang sangat mencintainya dan sangat perhatian.
   Tingkah paranoid Anna juga membuat saya jengkel. Sikapnya yang sangat membenci Rachel dan merusak hubungan Tom dan Rachel, sukses membuat saya membenci karakter Anna, meski di ending cerita, si Anna bener-bener badass dan patut dikasih "slow clap" dengan penuh ketercengangan sekaligus terpukau atas tindakannya di ending cerita.

   Saya juga sempat mengira Scott dan Rachel bakalan jadian karena mereka itu senasib -sama-sama diselingkuhi. Tapi ternyata itu tidak terjadi..

   Yang jelas buku ini lebih fokus pada kejiwaan masing-masing karakter yang bener-bener worst sehingga mereka terlibat dalam situasi yang worst juga. Dan saya bener-benera merasakan banyak ketegangan di tengah sampai akhir cerita. Jadi buat para pembaca, harus sedikit bersabar di bagian awal buku.

Well, untuk pemberian nilai, saya kasih 4 dari 5 bintang. Recommended buat kalian yang suka baca buku dengan karakter-karakter yang punya masalah psikologi atau sosiopath :))

   Rencananya, novel ini bakalan difilmkan oleh DreamWorks Studio dengan judul yang sama. Dan berikut ini saya kasih beberapa foto aktris dan aktor yang akan beperan dalam film The Girl on The Train yang rencana akan rilis akhir tahun ini. Saya rasa filmnya bakalan kerena, apalagi ada Emily Blunt dan Luke Evans, membuat saya berpikir ini bakal jadi film yang menjanjikan.


Emily Blunt as Rachel Watson

Haley Benett as Megan Hipwell

Rebeca Ferguson as Anna Watson

Justin Theroux as Tom Watson

Luke Evans as Scott Hipwell

Edgar Ramirez as Dr. Abdic Kamal



Sebelumnya, Chris Evans (Captain America) dan Jared Leto (The Suicide Squad) dikabarkan bakal memerankan Tom dan Scott. Tapi ternyata batal,